Mengutip dari Live Science, Zollikofer mengatakan bahwa sebelumnya analisis pada fosil Homo tertua berusia 2,8 juta tahun di Ledi-Geraru, Ethiopia tak memberikan apa-apa.
"Perkembangan otak itu untuk upaya atas tuntutan lingkungan atas kelangsungan hidupnya," ujar Rusyad Adi Suriyanto, Paleoantropolog di Laboratorium Bioantropologi & Paleoantropologi Universitas Gadjah Mada yang juga salah satu peneliti.
"Kan medan di luar Afrika berbeda, jadi mereka cari akal untuk bekerja lewat otaknya. Kemudian aktivitas otaknya makin meningkat," jelas Rusyad pada National Geographic Indonesia, Senin (12/04/2021).
Hasil pengamatan itu diungkap dengan memeriksa bagian dalam tengkorak fosil manusia purba yang menampung otak (endocast) lewat 3D CT (computed tomography) Scan. Sebab untuk meneliti otak merupakan hal yang sulit karena organ yang sangat lunak itu tak memfosil.
Endocast yang diamati oleh para peneliti berjumlah hampir 40. Mereka berasal dari tengkorak manusia modern, Homo erectus, Australopitheccus sediba, dan Homo naledi untuk dibandingkan.
"Homo erectus di Jawa, terutama di Blora, itu merupakan Homo erectus paling muda dan lengkap untuk diteliti. Tak hanya dari Cina, Afrika, dan Georgia saja," paparnya.
Pembandingan itu juga dilakukan pada kerabat manusia--kera besar, yakni 81 simpanse, 27 bonobo, 43 gorila, dan 32 orangutan.
Tempat yang mewadahi otak itu menyimpan bukti-bukti seperti alur tipis dan gundukan kecil yang memungkinkan mereka menganalisisnya.
Pada fosil Homo erectus yang sudah berkembang di dataran Eurasia, lewat pemindaian ternyata otak mereka cenderung lebih kompleks. Perkembangan itu juga dapat dilihat di bagian tulang dahi yang makin maju untuk menyimpan lobus frontalis yang berperan dalam kognisi.
"Lobus frontalis ini sangat penting untuk menggambarkan kecerdasan evolusi otak manusia yang melahirkan bahasa, kognisi sosial, dan membuat alat," Rusyad menjelaskan. "Kalau kera, apa yang dilihat di depan cuma langsung dipakai, atau ada batang kayu untuk menjebak semut untuk dimakan, seperti oleh simpanse."
Temuan Rusyad dan tim hanya berkonsentrasi pada Homo erectus. Alasannya, jenis manusia purba ini memiliki rentang waktu kemunculan dan kepunahan yang relatif lama sehingga menarik untuk diteliti.
Dirinya tak menampik kemungkinan bila nantinya ada riset terbaru untuk memahami perkembangan otak pada manusia purba lainnya seperti Homo florensiensis.
"Secara keluruhan, perlu diperbanyak jumlah sampel untuk sebagai evolusi otak ini, mungkin bisa meliputi bukan genus Homo saja, tapi pada genus lain seperti Australopithecus juga. Makin banyak makin baik," sarannya.
*****
Sumber : National Geographic, edisi April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar