Sabtu, 23 April 2022

Ki Rangga Sasana : Kenapa Saya Menjadi Fundamentalist ?

Ki Rangga Sasana
Sepanjang tahun saya temui teman-teman dari kalangan pegiat ilmu agama datang menemui saya, menjelaskan keyakinan agama mereka, dan memberitahu kenapa berbahaya, dan kadang tidak bermoralnya orang yang tidak memiliki keyakinan agama dalam hidup. 

Orang islam, kristen, buddha, mereka semua mendekati saya, islam khususnya. Bukannya tidak menghargai mereka, Saya lebih senang keadaan saya saat ini, mungkin tidak seluruhnya sih, namun saya tidak perlu percaya pada Tuhan yang tidak dapat saya ajak berdialog ataupun saya dengar apapun datang langsung dariNya (kecuali dalam kasus schizophrenia) untuk menjaga emosi saya. 

Saya bukan seorang penggemar narkotika demi kebaikan!

Dengan mengatakan ini, menjadi begitu mudah bagi saya untuk mengkritik mereka atau melabel mereka sebagai ekstremis agama. Kebenarannya adalah, sebagian besar dari mereka hanyalah orang2 yang biasa saja dan malang, yang membuat mereka sulit untuk di tolak, walau memang saya bisa, dan kadang sedikit sulit juga.

Mungkin sedikit penjelasan kenapa saya menjadi fundamentalist, akan memberi sedikit cahaya menuju perjalanan saya ke arah pencerahan diri.

Sebenarnya sederhana, sahabat.
daku waktu masuk sekolah menengah jurusan Pertanian. disini sekolahnya sangat religius, sekolah mipa, calon ilmuan di bidang bercocok tanam. Nah di sekolah ini ada pengajian keagamaan setiap hari, disitu para guru, dan siswa-siswi ngumpul untuk mendengarkan ceramah singkat dari para ustad yang tidak pernah mondok tapi pandai menipu jamaah. 

Masalahnya isi ceramah ini seringkali bertentangan dengan nalar. Daku bingung, apakah daku yang terlalu goblok atau terlalu pintar, sehingga daku sendiri yang merasa keanehan. Tapi gak ada sesi diskusi, selesai dakwah maka semua orang bilang “sami’na wa athana=kami dengar dan kami patuh”. Bahkan para guru di sekolah saya itu angguk-angguk dengan semua kontradiksi ini. 

Daku beruntung bisa bahasa inggris tapi pakai logat ngapak brebes dan mampu belajar secara otodidak. Maka daku pun belajar dari internet mengenai agama islam sampai ke akar2nya. Daku pun tiba pada kesimpulan bahwa hadis dan sunnah adalah karangan manusia yang ilmu agamanya paten. 

Dan dengan begitu aku hanya berpegang pada Al Qur’an dalam beragama.
Kurang lebih setahun, daku mempelajari ini, daku tiba pada kesimpulan bahwa agama adalah karangan manusia pula. Dan setahun lagi kemudian, dakupun tiba pada kesimpulan bahwa tuhan adalah buatan manusia.

Selama mempelajari ini semua, daku mempraktekkan agama islam dengan begitu gila2an. Puasa hampir setiap hari, memakai pakaian putih2 lengkap dengan tasbih dan surban kalo kuliah, sholat dan berdoa siang malam. Tujuannya jelas, aku ingin Tuhan menunjukkan padaku jalan yang lurus menuju kebenaran karena aku telah melaksanakan segala perintahNya.

Dan pemahamanku menuju fundamentaisme berjalan dengan begitu mulus, tidak ada hambatan. Apalagi daku melihat berita kriminal tentang terorisme dan segala macamnya itu, makin yakinlah daku dengan jalan yang sedang kutempuh.

Ini membuktikan bahwa Tuhan memang ada, karena:
 

01. Jika kita beriman dan beribadah maka tuhan pasti mengabulkan segala doa kita terutama mengenai kebaikan.
 

02. Jika tuhan ada, ia akan menunjukiku jalan yang lurus tanpa hambatan menuju kebenaran karena itulah doaku setiap hari.
 

03. Dan jalan tanpa hambatan itu membawa daku pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang adanya.
 

04. Berarti benar bahwa tuhan itu tidak ada karena tuhan menunjukkan jalan yang benar. Kebenaran ini dari tuhan, bahwa ia tidak ada.
 

Sebuah paradoks. Maka daku dengan rendah hati menerima kesimpulan menyakitkan pada awalnya bahwa tuhan tidak ada dan doaku selama ini hanyalah sebuah affirmasi untuk diriku sendiri agar tetap objektif dalam mempelajari ini.

Apa Kata Dunia ?!

2 Juli 2018, Mercusuar Dunia, Sunda Empire, Bandung 

TTD / HIS EXCELLENCY KI RANGGA SASANA alias EDI RAHARJO